“Bintang tua sudah banyak kehilangan bahan bakar di bagian intinya, bahan bakar inilah yang membuatnya tetap bersinar dan bertahan. Jika suatu saat nanti bintang tua kehilangan daya penunjang, maka terpaksa akan jatuh. Namun jika ledakan hebat terjadi padanya, maka cahayanya sepuluh juta kali lebih terang” Memandang kearahku dengan sorotan tajam
“ Tapi… jiwa ingin seperti medan magnet dan atmosfer bumi, dia jarang dikenal oleh manusia tetapi tetap setia menjaga, atmosfer yang selalu tabah menangkis benda-benda luar angkasa dan medan magnet bumi yang selalu siap sedia membelokkan benda-benda luar angkasa yang berniat jahat mendekati, keduanya bagaikan pahlawan sejati” sanggahku
“ Ibu tak ingin banyak bicara, jika matahari tua ini sudah mati dan telah kau tinggalkan maka matahari baru akan siap menemanimu, ibu berharap sinar matahari baru lebih kuat bila dibandingkan dengan matahari tua ini” kata ibu menambahkan sambil menghela nafas panjang.
Begitulah kekhawatiran ibu saat ku berniat melamar Handa menjadi pendamping hidupku, aku sungguh tidak bisa menahan betapa besar kecintaan inipada Handa, nama Lalu Kudus Kurniawan Kumaratungga dan Dewi Handayana akan bersatu dalam bingkai cinta kasih yang tidak pernah terpisah, selamanya!.
“Ayah.. gadis sawah itu sungguh membuatku tak bisa tidur dan tak enak makan, aku ingin segera melamarnya” sambil mengatur posisi duduk tepat dihadapan ayah.
“ Wan, kamu baru saja lulus kuliah, baru beberapa bulan kerja sudah mau nikah. Belum lagi si Handa itu juga anak gak jelas asal usulnya, kata orang dulu saat bayi, dia itu dijual sama nenek dan kakeknya sama orang Jakarta yang dibilang ayah kandungnya, nah ibunya lagi si Dahlia, pulang tanpa nyawa dari saudi Arabia jadi TKW, kamu itu jangan malu-maluin keluarga…!” cetus ayah.
“ Wan gak perduli masa lalunya dia, yang penting Handa itu putri Selaparang juga, jadi Wan gak salah menikahinya Yah…”
“ Kamu pikirkan saja dulu, keluarga kita adalah keturunan raja Selaparang, keris yang Ayah simpan dan hasil turun temurun itu tentu akan Ayah serahkan ke kamu Wan, carilah pasangan hidup yang juga tak jauh dari ikatan keluarga”
Perbincangan bersama ayah dan ibu bukan berarti penghalang untuk mengurungi niat, tapi inilah budaya Lombok yang selalu menginginkan untuk menikahi misan atau keluarga terdekat. Aku harus bertemu dengan Handa sekarang juga, aku yakin dia wanita terbaik yang Tuhan pilihkan untukku.
Langkah kaki mulai menelusuri jalan bebatuan tertuju ke arah bukit kecil yang tak jauh dari desa Selaparang, berhenti sejenak di bawah pohon raksasa dan duduk di atas batu besar. Aku baru meyadari jika pemandangan indah ini membuat hati terasa cukup tenang. Ku layangkan pandangan kearah timur, terlihat Gilli Lampu yang terbentang luas, tampak sangat menawan dengan wajah birunya. Seolah-olah mengajariku untuk hidup darmawan, dan ketika mata tertuju kearah barat, perpaduan bukit-bukit hijau menjulang tinggi dan hamparan sawah membuat jiwa tak akan pernah mengenal rapuh.
Sungguh membahagiakan dan membuatku terharu, saat melihat sosok wanita dengan kulit kuning dan rambut yang terurai panjang, sarung tenun dan baju sederhana melekat di badan semakin membuatnya tampak cantik alami. Ia terus berjalan setapak demi setapak di atas pematang sawah, lugu dan begitu menawan.
“ Handa…” teriakku sambil mendekatinya
Diapun menoleh dan menghentikan langkah gontainya, tersirat kesan malu di pipinya. Namun Ia pun tersentak dan terburu-buru mempercepat langkahnya. Sungguh aneh dan mengherankan.
“ Tunggu sebentar, kamu hendak ke mana?” Cegatku
. “Maaf, ada perlu apa, Wan?” Handa sedikit mengangkat alisnya.
”Sekarang kan jum’at sore, bukannya kamu libur ngajar anak-anak di mushalla?” Tambahku.
“Oh iya, tapi… ” gumamnya.
“Sudahlah! Itu berarti side ada waktu untuk saya, bisa duduk sebentar di atas batu sana?” Pintaku sambil menunjuk sebuah batu di seberang jalan.
“Begini Da, saya ingin ngobrol masalah tanggapan masyarakat saat ini sama kamu yang sudah ngajar di mushalla”
“Ohya…, saya hampir lupa ngucapin terimakasih. Berkat kamu impian aku tuk mengajar anak-anak Selaparang tercapai sudah. Meskipun side sudah tahu sendiri bagaimana kerasnya tokoh-tokoh masyarakat. Padahal di sekolah mereka dulu, sama sekali belum mendapat pelajaran bahasa inggris. Ketika mereka sudah lulus SD, meskipun mereka sudah ada sedikit bekal agar tidak tertinggal dengan sekolah dasar yang ada di kota yang notabene udah mempelajari bahasa inggris sejak masih duduk di bangku SD” jelas Handa dengan tulus.
“Handa…” Aku mencoba menjelaskan.
”Saya sudah bicara dengan semua tokoh masyarakat, dan Alhamdulillah, niat tulus side sudah diterima. Handa, aku begitu kagum sama kamu. Engkau begitu luar biasa, baru satu tahun di sini sudah cukup lancar bahasa sasak dan sudah bisa berpakaian seperti layaknya orang-orang desa” sambungku.
Aku sebenarnya belum siap memberi tahu apa yang sesungguhnya ku alami, tapi aku rasa inilah saat yang tepat.
Handa hanya diam, matanya yang sayu dan bundar terlihat menyimpan banyak rahasia tentang dirinya. Ditambah lagi dengan raut wajahnya yang tampak begitu cepat berubah menjadi pucat pasi. Aku pun merasa heran ada apa sebenarnya. Namun cepat-cepat ia berusaha menguasai dirinya.
“Kamu ngelamun ya..?” hardik Handa.
“Sebenarnya, aku harap hubungan baik kita selama ini tidak retak setelah aku mengutarakan satu keinginan.” Aku terdiam sejenak dan mencoba menjelaskan.
“Engkau wanita yang begitu indah di pandanganku. Ku ingin di sisa hidupku ini, berharap dapat mengarungi hamparan luas lautan suka duka hidup ini tetap berada di sisimu. Tuk tetap selamanya saling berdampingan, saling mengisi dan melengkapi. Sejujurnya… aku ingin segera menikahi kamu Da…”
Ketika kata-kata itu terdengar olehnya, tiba-tiba saja dia terisak menangis, bagai disambar petir yang ia rasa. Entah apa yang membuatnya begitu sangat terpukul dan ingin berlari dari hadapanku. Namun semampunya ku menahannya hingga iapun tak mampu tuk beranjak.
“ Wan, jawabannya sepenuhnya ada di side. Namun sebelumnya, aku ingin side mendengarkan semua cerita tentang siapa aku ini sebenarnya. Setelah itu side sendiri yang akan memutuskannya” Mencoba tuk menjelaskan misteri tentang dirinya.
Dia pun mulai bercerita….
“ Satu tahun yang lalu….Aku mulai menapakkan kaki di pulau Lombok, Aku terus bertanya, benarkah ini pulau Lombok tempat kelahiran malaikat yang Tuhan titipkan padaku? Sungguh indah dan begitu terasa damai, tanah basah dan sawah terbentang seakan tersenyum dan berlari melepas rindu. Ah…. Sayang! Aku belum mengenalnya. Tetesan air mata dan degupan jantung membawa hati melayang dengan jiwa yang masih tertahan. Perlahan kertas lusuh yang sudah berhari-hari ku genggam, kini ku buka kembali. Kaki dengan pelan mendekati seorang perempuan setengah baya yang tengah asyik bercengkrama bersama ramahnya tanaman. Ku tanyakan alamat dan nama yang tertera jelas di kertas lusuh yang sedang ku genggam. Perlahan namun pasti tulisannya terbacalah sudah olehnya. Wajah polos itu pun mengangguk, sebagai isyarat bahwa ia mengiyakan apa yang sedang ku tunjuk. Membuat hati sedikit tersirami bersama indahnya pagi diantara letihnya jiwa.
“Aku yakin, inilah kado spesial dari Tuhan” gumamku dalam-dalam. Senandung suara hati untuk akhiri segala derita hidup yang telah lama menanamku hidup-hidup. Ingatan untuk ayah yang berhati biadab yang tak ubahnya bagai binatang.
Sambil tetap berharap masih tersisa waktu dan terijabahnya do’a semoga maaf sempat terucap. Semoga ayah tahu bahwa asa dalam jiwa ini terus mengalir dalam derasnya hujan. Ayah membuat hujan datang hanya memenuhi panggilan hati yang hitam kelam dan hanya sebagai korban agar langit kembali biru. Hatinya yang begitu keras, kepekaannya telah hilang dan kebenaran selalu dalam kandang kebohongan dan kepura-puraannya, semuanya aku ada bukti hidup.
Aku sadar, kini kaki semakin dekat dalam arah mata memandang. Dari kejauhan terlihat gubuk kecil reot tanpa ada gubuk lain yang mendampinginya. Sebuah gubuk yang dikelilingi oleh sawah yang dihiasi oleh harmonisnya percikan air kali yang mengalir di sela-sela bebatuan. Berdiri tegar pohon kelapa berkeliling membentuk parmasi seperti tentara yang selalu siap jaga. Perlahan kaki memberanikan diri melawan rasa takut untuk melewati pagar bambu tua dan sembunyikan malu untuk mengetuk pintu.
Dalam sekejap seorang wanita lanjut usia membuka pintu dan menatapku tajam, seakan penuh kebingungan dan penuh rasa tak percaya, sekejap tangannya sudah memelukku dengan kuat, begitu erat dan tak ingin melepaskanku , air matanya pun bercucuran. Dia mulai berbicara, namun aku tak mengerti apa yang diucapkannya, bahasa sasak yang sungguh sangat asing, Dia menunjukkan tempat duduk yang membentuk persegi panjang yang terbuat dari bambu, cukup unik.
Syukurlah, seorang laki-laki tua hadir pecahkan suasana, dia membawa beberapa ikat kayu dan batang tebu yang bertengger di pundaknya. Meskipun badan tinggal tulang terbalut kulit, namun wajahnya masih mampu tuk tersenyum tulus. Senyum tulusnya mampu untuk mengalahkan keriput wajahnya, hingga ia tampak begitu bijak.
“ Kamu pasti cucu kakek, wajahmu sama persis dengan wajah ibumu nak. Ini bukanlah suatu kebetulan, tapi Allah sudah merencanakannya.” Ujarnya sambil menatapku lama diiringi kucuran air mata yang tak mampu ia bendung.
“ Aku tak tahu benar,… aku hanya mendapat alamat dari seorang perempuan yang sudah lama bekerja di rumahku….” Jawabku lirih.
Banyak cerita dari kakek dan nenek utarakan. Meski nenek bicaranya tidak selancar makan dan minum dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu tak menghalangi semangatnya menceritakan kebaikan ibu. Ibuku yang tak pernah mengenal lelah dalam hidup yang sangat berbeda dengan cerita busuk ayah. Kakek hanyalah lulusan Sekolah Rakyat. Sekolah pada zaman Hindia belanda yang setara dengan sekolah dasar. Kesehariannya dulu yang suka berjualan sayur-mayur ke kota membuatnya cukup lancar berbahasa.
“ Nak.. kakek sudah lupa nama kamu, mudah-mudahan tidak membuatmu kecewa sampe-sampe nama saja terlupa. Yah,,, inilah kenyataannya. Begitu lama aku tak mendengar namamu. Siapa namamu, denda? Oh iya biar side ingat biasanya semua perempuan sebaya kamu dipanggil denda di sini….” Sapanya ramah.
“ Panggil saja Handa kek… “ sahutku malu. Sambil melepaskan diri dari pelukan si nenek.
“Ohya, bagaimana kabar ayahmu? Kakek ingin mendengarkan cerita tentang ayahmu”
Pertanyaan yang membuat ku cukup lama terdiam. Belum sepatah kata keluar dari bibir ini, terlebih dahulu ku meneteskan butiran air mata. Apakah masih pantas aku memanggil dengan sebutan ayah pada orang yang sungguh tak sanggup ku anggap baik, mungkin akan lebih pantas bila ku panggil biadab? Tangisan air mata tak pernah cukup untuk mengobati segalanya, hati yang sangat teriris dan betapa kotornya hidup.
Tak ku sadari perlahan-lahan aku telah berada dalam dekapan hangat sang nenek tua yang begitu lembut. Namun kakek terus dengan halusnya mendesakku menceritakan semuanya, hingga aku pun bercerita kepadanya.
Seakan dihantui mimpi buruk, tapi saat terbangun kembali, sungguh itu benar-benar terjadi. Perlahan ku tarik selimut biru yang menutupi sekujur tubuh mungilku. Dengan pelan mata melirik jam beker dengan kubah kuning yang sudah tergeletak di atas lantai, hari sudah pagi. Aku sungguh tidak akan percaya ini benar adanya terjadi. Aku masih berharap hanya mimpi buruk yang sengaja mampir di alam bawah sadar yang terbawa oleh malam, namun bungkaman tangan tua di atas mulut masih terasa dan tak kuasa berteriak, terbangun tanpa pakaian dengan badan yang sudah tertindih. Aku melihat wajah tua itu dengan jelas, yang terus tidak pernah mau melepaskanku hingga aku kembali tak sadarkan diri.
Lelaki tua itu adalah ayahku sendiri, dia melakukan itu semua kepadaku tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Saat ku tersadar, aku langsung berteriak histeris, Tangan ayah langsung merengkuh tubuhku dan membungkam mulutku kembali, dengan pelan dia mulai berdesis seperti ular di telingaku.
“Diam !, nanti didengar tetangga siapa yang malu, kamu khan..? sudahlah, ayah wajar saja melakukannya, karena ayah sendiri yang membesarkan dan memberi kamu makan tiap hari, ibu kamu wanita jalang yang membuang kamu begitu saja di jalan…………”.
Itulah hari terakhir bersama ayah yang membawaku dalam keputusasaan, namun aku sungguh beruntung bahwa bibi yang sudah lama menjadi pembantu ayah memberikanku alamat ibu dan nama lengkap kakek. Dan menurut pemberitahuan kakek, bibi itu adalah saudara ibu sendiri yang dinikahi juga oleh ayah, ayah sungguh sudah menghancurkan segalanya. Dan itulah yang membuatku berani meninggalkan Jakarta dengan segala hiruk-pikuk suasana ibu kota. Harapan ku tak lain hanya untuk bisa menemukan ibuku di Lombok. Apa yang ku dapati di Lombok? Kakek dan nenek malah menuntunku berjalan menuju sebuah makam berpagar bambu, dan sangat membuatku teriris saat mendengar bahwa makam itu adalah makam ibuku sendiri yang pulang tanpa nyawa dari negeri rantauan.
Namun ada satu hal yang membuatku tegar, surat ibu ketika berada di negeri rantauan yang terkumpulkan oleh nenek selalu menanyakan keadaanku. Ibu yang sangat menyayangiku, dia tetap optimis jika surat-surat itu bisa ku terima meskipun aku tentu tidak akan mungkin bisa menerimanya. Alasan perceraian ibu dengan ayah yang menjadi pertanyaan besar dalam hidupku tentu sudah terjawab semua …. Dan… Aku juga sekarang sudah merasa tenang, karena Wan sudah tahu semuanya….”
Handa mengakhiri ceritanya dan terus menunduk dengan air mata yang tak hentinya, aku seakan terbawa dan merasakan apa yang dialaminya.
“Hidup ibarat sebuah buku tulis Da, ada sampul depan sebagai pembuka dan ada sampul belakang sebagai penutupnya. Setiap lembaran buku akan tergores oleh berbagai kebaikan dan begitu juga keburukan kita… tapi, Allah itu Maha Tahu, Dia selalu menyediakan lembaran putih untuk kita yang siap kita tulisi kembali yakni hari esok yang masih menyimpan misteri untuk kita mampu mengungkapnya menjadi sebuah catatan indah yang akan terkenang dalam sebuah lembar-lembar sejarah kehidupan. Ia akan menjadi catatan indah pada akhirnya nanti” Sejenak aku terdiam
“Tentang masa lalumu itu tak usah kau kenang dan lupakanlah. Sudahlah… Lupakan semuanya, Insya’allah.. aku ikhlas menerima semuanya dengan bagaimanapun keadaan kamu. Aku beruntung bertemu dengan seorang wanita yang tegar seperti kamu Da…” Ku akhiri perbincangan.
Created by. Nurul Hidayah MS